Bahasa dan Sastra Indonesia

Ingat Seragamnya, Ingat Pasangan si Hitam Karya Muhammad Fikri Naufal


Rambut dengan potongan sasak bagian atas dengan tipis di bagian samping kanan dan kirinya sudah membuatku percaya diri pagi ini. Dengan beberapa buku di atas rak buku yang siap kutenteng,makin terbayang bagaimana nantinya melewati beberapa kelas dan berpuluh-puluh tangga karena kelasku berlokasi di lantai tiga sekolah.

SMAN 1 Banjarnegara. Begitulah nama yang tercantum di sebelah kanan baju osisku yang tergantung pada hanger lemariku. Suasana yang sangat baru bagiku karena untuk pertama kalinya aku pergi ke sekolah di Hari Jumat setelah empat hari sekolah di SMAN 1 Banjarnegara. Tak sabar untuk segera menyatu dengan semua warga sekolah. Mulai dari belajar, kegiatan keagamaan, sosial, MOS(Masa Orientasi Siswa), dan beberapa orang di kelas yang jago main gitar. Yang sesekali aku lirik tangannya ketika memainkan gitar untuk menghafal beberapa chord dari lagu Thinking Out Loud.
Aku masih menghadap cermin yang menempel salah satu pintu lemariku sambil menata beberapa helai rambut yang sedikit terjuntai ke bawah.Dan merasakan harum setelah semprotan minyak wangi terakhir terarah ke bagian kanan-kiri punggungku. Ketika suara laci lemari dan pintu tertutup tandanya sudah siap aku untuk kegiatan selanjutnya di pagi hari setelah mandi.
Nasi dicampur sedikit mie instan dan kornet sapi sudah kulahap. Si hitam pun sudah disemir siap untuk dimasuki kaos kaki putih yang membungkus kaki kanan dan kiriku. Saatnya berangkat!
Dengan tangan dibungkus kantong jaketku yang bewarna cokelat, mobil ini menyusuri alun-alun Kabupaten Banjarnegara yang terkenal berhawa dingin. Tanpa jaket, mungkin seorang Fikri akan membeku ditengah udara yang baru beberapa hari.
“Mah, aku berangkat dulu ya,” sambil meminta tangan mamah dan menciumnya yang berada sebelah tempat duduknya.
Salah seorang adikku telah berjalan di atas garis-garis putih zebra cross. Akhirnya mobilku berhenti setelah menyalakan sign kiri ditengah macetnya kendaraan karena lalu lalang yang sedikit lebih padat karena kedatanganku di sekolah hari ini agak telat beberapa menit dari hari sebelumnya.
Sepatu pantofel punyaku masih mengkilat di tengah pasir halaman depan yang kebetulan sedang dilakukan renovasi untuk gedung bertingkat dua tersebut. Memberikan ruang seni dan ruang guru yang baru bagi siswa-siswi Banjarnegara. Kutarik sedikit ke atas resleting jaket ini hingga mentok menyentuh leherku.
Ketika langkahku mulai menanjak ke anak tangga ke satu, beberapa orang di belakangku melihatnya miring, aku sempat melihat beberapa orang yang tak ku kenal itu. Dengan berbisik mereka benar-benar membuat diriku tak nyaman dan ingin segera meninggalkan anak tangga ke satu itu dan mulai dua, tiga seterusnya hingga sampai di lantai tiga. Mungkin yang tadi hanya orang yang ngefans sama aku. Biarkan saja mereka membicarakan diriku asal aku tak terganggu.
Sampai pula di lantai tiga, teman-temanku sedang berkumpul di balkon sambil berdiri berjejer dengan mata yang rileks menatap air mancur di pagi hari yang dingin. Ada beberapa yang tahan dengan dingin, namun ada pula yang sama seperti aku. Setelah tasku akhirnya ikut duduk di kursi yang paling depan, dekat dengan pintu, aku membaca novel.
“Ayo keluar, gabung sama kita,” ajak Agung, seorang anak rohis yang periang, suka becanda.
“Ya, ayo.” tanpa ba bi bu, karena aku yakin ajakan orang untuk berkumpul itu menyenangkan.
Setelah berbincang-bincang, akhirnya bel masuk berbunyi juga. Kurikulum kami yang terbaru mengajarkan kami untuk lebih kreatif dengan lima hari efektif setiap minggunya. Di setiap pagi hari kami menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum jam pertama dimulai. Seni rupa, bimbingan konseling, penjas, fisika akhirnya selesai ketika jam istirahat kedua berbunyi memanggil kita untuk segera menunaikan kewajiban sholat.
Sepatu pantofel berjejer di sebelah dinding-dinding sekolah dekat masjid. Aku pun dan kawan-kawan kelas XI Mipa 5 menambah panjang ular yang terbentuk dari sepatu-sepatu ini.
“Kau lihat itu kaos kaki yang peserta mos pakai,”
“Sepatu bola, hahaha.” Kami tertawa serentak dan mulai melepaskan sepatu masing-masing.
Setelah wudhu, kami sholat jumat. Dua rakaat selesai dan kami menuruni tangga masjid menuju tempat parkir deretan sepatu kami tadi. Kaget rasanya aku. Bukan sepatuku yang hilang. Bukan sepatuku yang tiba-tiba kotor atau sesaknya orang yang sedang menggunakan sepatu. Bukan juga karena bau kaos kaki yang baru keluar dari sarang sepatu mereka. Mataku tertatap kosong ternyata kaos kakiku berbeda. Ingatlah aku kalau aku salah ambil warna kaos kaki tadi pagi, pramuka harus dipadu dengan kaos kaki bewarna hitam!!
Panik membuatku keringat dingin. Seperti ada guntur yang menggelegar di dalam hatiku.
“Oh, em, ada yang ketinggalan, aduh iya, kalian duluan ya,” ujarku pada mereka sambil memasukkan kaos kaki putihku lebih dalam ke sepatu agar tak kelihatan.
Aku segera kembali ke dalam masjid tanpa menunggu mereka melangkahkan badan mereka ke kelas. Tangga masjid yang kini kunaiki dengan pikiran kosong. Akhirnya bel pun berbunyi dan aku harus tahan malu akan satu hal. Pada waktu aku di masjid, lebih banyak perempuan yang sholat zuhur sehingga menambah kepanikanku ketika sepatuku berada di ratusan jejeran sepatu perempuan. Dan aku harus kembali ke kelas sekarang juga. Detik ini juga harus berangkat ke kelas sebelum guru sampai di mulut pintu kelas.
Tak ada pilihan, aku harus cepat. Langkah tegak maju, jalan! Kukuatkan batin diantara ratusan jama’ah perempuan yang melirik tak biasa ke bagian pergelangan kakiku. Tanganku yang memegang kaos kaki putih terasa lemas dan segera ingin cepat-cepat memasukkan kakiku ke dalam kaos kaki ini. Beberapa laki-laki terbahak-bahak tertawa di sebelah barat laut menunjuk ke arah kakiku. Telunjuknya bergetar-getar karena gelagak tawanya. Andaikan aku sadar aku pakai baju pramuka tadi pagi, si hitam pun akan ingat warna kaos kakinya, pasti kekonyolan ini pasti tak kan pernah terjadi.
“Hey, tenang saja,” sekelompok orang datang kepadaku, menaikkan celana dan rok mereka yang panjang.
“Hahahahahaha!” tawaku menggelegar menghantam muka mereka satu persatu.
“Hahahahahaha! Ketika kamu naik tangga, semuanya terlihat jelas.”
Ternyata mereka juga berkaos kaki putih, mereka yang memandangiku ketika naik tangga tadi pagi!!!

Kabupaten Banjarnegara, 14 Agustus 2015.

Related Post:

10 Komentar untuk "Ingat Seragamnya, Ingat Pasangan si Hitam Karya Muhammad Fikri Naufal"

Wah, keren karyanya, kak.
Maju terus ya, kak!
Semangat, Kak!

Bagus sekali, terus kembangkan!

Bagus sekali, bahasa yg sederhana tp mengajak pembaca menikmati jalan ceritanya. Terus dikembangkan bakatnya!

great job, pikmew ^_^ Semangatt!

Nice story fikk, tapi kekonyolan lu yg satu itu gk ilang" yaaa hahaa

Iya makasih ya dek, tetep semangat! hehehe

Terima kasih ya bu, saya akan terus mengembangkan tulisan saya supaya makin bagus

ya #akumahgituorangnya hehehehehe

Iya ya, Fiki pasti kembangin terus

Back To Top