Rambut dengan potongan
sasak bagian atas dengan tipis di bagian samping kanan dan kirinya sudah
membuatku percaya diri pagi ini. Dengan beberapa buku di atas rak buku yang
siap kutenteng,makin terbayang bagaimana nantinya melewati beberapa kelas dan
berpuluh-puluh tangga karena kelasku berlokasi di lantai tiga sekolah.
SMAN 1 Banjarnegara.
Begitulah nama yang tercantum di sebelah kanan baju osisku yang tergantung pada
hanger lemariku. Suasana yang sangat
baru bagiku karena untuk pertama kalinya aku pergi ke sekolah di Hari Jumat
setelah empat hari sekolah di SMAN 1 Banjarnegara. Tak sabar untuk segera
menyatu dengan semua warga sekolah. Mulai dari belajar, kegiatan keagamaan,
sosial, MOS(Masa Orientasi Siswa), dan beberapa orang di kelas yang jago main
gitar. Yang sesekali aku lirik tangannya ketika memainkan gitar untuk menghafal
beberapa chord dari lagu Thinking Out Loud.
Aku masih menghadap
cermin yang menempel salah satu pintu lemariku sambil menata beberapa helai
rambut yang sedikit terjuntai ke bawah.Dan merasakan harum setelah semprotan
minyak wangi terakhir terarah ke bagian kanan-kiri punggungku. Ketika suara
laci lemari dan pintu tertutup tandanya sudah siap aku untuk kegiatan
selanjutnya di pagi hari setelah mandi.
Nasi dicampur sedikit
mie instan dan kornet sapi sudah kulahap. Si hitam pun sudah disemir siap untuk
dimasuki kaos kaki putih yang membungkus kaki kanan dan kiriku. Saatnya
berangkat!
Dengan tangan dibungkus
kantong jaketku yang bewarna cokelat, mobil ini menyusuri alun-alun Kabupaten
Banjarnegara yang terkenal berhawa dingin. Tanpa jaket, mungkin seorang Fikri
akan membeku ditengah udara yang baru beberapa hari.
“Mah, aku berangkat
dulu ya,” sambil meminta tangan mamah dan menciumnya yang berada sebelah tempat
duduknya.
Salah seorang adikku
telah berjalan di atas garis-garis putih zebra
cross. Akhirnya mobilku berhenti setelah menyalakan sign kiri ditengah macetnya kendaraan karena lalu lalang yang
sedikit lebih padat karena kedatanganku di sekolah hari ini agak telat beberapa
menit dari hari sebelumnya.
Sepatu pantofel punyaku masih mengkilat di
tengah pasir halaman depan yang kebetulan sedang dilakukan renovasi untuk
gedung bertingkat dua tersebut. Memberikan ruang seni dan ruang guru yang baru
bagi siswa-siswi Banjarnegara. Kutarik sedikit ke atas resleting jaket ini
hingga mentok menyentuh leherku.
Ketika langkahku mulai
menanjak ke anak tangga ke satu, beberapa orang di belakangku melihatnya
miring, aku sempat melihat beberapa orang yang tak ku kenal itu. Dengan
berbisik mereka benar-benar membuat diriku tak nyaman dan ingin segera
meninggalkan anak tangga ke satu itu dan mulai dua, tiga seterusnya hingga
sampai di lantai tiga. Mungkin yang tadi hanya orang yang ngefans sama aku. Biarkan saja mereka membicarakan diriku asal aku
tak terganggu.
Sampai pula di lantai
tiga, teman-temanku sedang berkumpul di balkon sambil berdiri berjejer dengan
mata yang rileks menatap air mancur di pagi hari yang dingin. Ada beberapa yang
tahan dengan dingin, namun ada pula yang sama seperti aku. Setelah tasku
akhirnya ikut duduk di kursi yang paling depan, dekat dengan pintu, aku membaca
novel.
“Ayo keluar, gabung
sama kita,” ajak Agung, seorang anak rohis yang periang, suka becanda.
“Ya, ayo.” tanpa ba bi
bu, karena aku yakin ajakan orang untuk berkumpul itu menyenangkan.
Setelah
berbincang-bincang, akhirnya bel masuk berbunyi juga. Kurikulum kami yang
terbaru mengajarkan kami untuk lebih kreatif dengan lima hari efektif setiap
minggunya. Di setiap pagi hari kami menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum jam
pertama dimulai. Seni rupa, bimbingan konseling, penjas, fisika akhirnya
selesai ketika jam istirahat kedua berbunyi memanggil kita untuk segera
menunaikan kewajiban sholat.
Sepatu pantofel berjejer di sebelah
dinding-dinding sekolah dekat masjid. Aku pun dan kawan-kawan kelas XI Mipa 5 menambah
panjang ular yang terbentuk dari sepatu-sepatu ini.
“Kau lihat itu kaos
kaki yang peserta mos pakai,”
“Sepatu bola, hahaha.”
Kami tertawa serentak dan mulai melepaskan sepatu masing-masing.
Setelah wudhu, kami
sholat jumat. Dua rakaat selesai dan kami menuruni tangga masjid menuju tempat
parkir deretan sepatu kami tadi. Kaget rasanya aku. Bukan sepatuku yang hilang.
Bukan sepatuku yang tiba-tiba kotor atau sesaknya orang yang sedang menggunakan
sepatu. Bukan juga karena bau kaos kaki yang baru keluar dari sarang sepatu
mereka. Mataku tertatap kosong ternyata kaos kakiku berbeda. Ingatlah aku kalau
aku salah ambil warna kaos kaki tadi pagi, pramuka harus dipadu dengan kaos
kaki bewarna hitam!!
Panik membuatku
keringat dingin. Seperti ada guntur yang menggelegar di dalam hatiku.
“Oh, em, ada yang
ketinggalan, aduh iya, kalian duluan ya,” ujarku pada mereka sambil memasukkan
kaos kaki putihku lebih dalam ke sepatu agar tak kelihatan.
Aku segera kembali ke
dalam masjid tanpa menunggu mereka melangkahkan badan mereka ke kelas. Tangga
masjid yang kini kunaiki dengan pikiran kosong. Akhirnya bel pun berbunyi dan
aku harus tahan malu akan satu hal. Pada waktu aku di masjid, lebih banyak
perempuan yang sholat zuhur sehingga menambah kepanikanku ketika sepatuku
berada di ratusan jejeran sepatu perempuan. Dan aku harus kembali ke kelas
sekarang juga. Detik ini juga harus berangkat ke kelas sebelum guru sampai di
mulut pintu kelas.
Tak ada pilihan, aku
harus cepat. Langkah tegak maju, jalan! Kukuatkan batin diantara ratusan
jama’ah perempuan yang melirik tak biasa ke bagian pergelangan kakiku. Tanganku
yang memegang kaos kaki putih terasa lemas dan segera ingin cepat-cepat
memasukkan kakiku ke dalam kaos kaki ini. Beberapa laki-laki terbahak-bahak
tertawa di sebelah barat laut menunjuk ke arah kakiku. Telunjuknya
bergetar-getar karena gelagak tawanya. Andaikan aku sadar aku pakai baju
pramuka tadi pagi, si hitam pun akan ingat warna kaos kakinya, pasti kekonyolan
ini pasti tak kan pernah terjadi.
“Hey, tenang saja,”
sekelompok orang datang kepadaku, menaikkan celana dan rok mereka yang panjang.
“Hahahahahaha!” tawaku
menggelegar menghantam muka mereka satu persatu.
“Hahahahahaha! Ketika
kamu naik tangga, semuanya terlihat jelas.”
Ternyata mereka juga
berkaos kaki putih, mereka yang memandangiku ketika naik tangga tadi pagi!!!
Kabupaten Banjarnegara,
14 Agustus 2015.
10 Komentar untuk "Ingat Seragamnya, Ingat Pasangan si Hitam Karya Muhammad Fikri Naufal"
Wah, keren karyanya, kak.
Maju terus ya, kak!
Semangat, Kak!
Bagus sekali, terus kembangkan!
Bagus sekali, bahasa yg sederhana tp mengajak pembaca menikmati jalan ceritanya. Terus dikembangkan bakatnya!
great job, pikmew ^_^ Semangatt!
Nice story fikk, tapi kekonyolan lu yg satu itu gk ilang" yaaa hahaa
Iya makasih ya dek, tetep semangat! hehehe
Terima kasih ya bu, saya akan terus mengembangkan tulisan saya supaya makin bagus
hihiii makacihh putmew ^_^
ya #akumahgituorangnya hehehehehe
Iya ya, Fiki pasti kembangin terus