Bahasa dan Sastra Indonesia

SALAH TEBAK Karya Mutiara Magdalena



Masa-masa SMP adalah masa-masa indah yang tidak akan pernah gue lupakan dalam hidup yang singkat ini. Pasalnya, saat-saat remaja yang gue lalui selama 3 tahun di sana, memberikan gue banyak sekali pengalaman sejuta rasa. Manis, kecut, pahit, pedas, pedas level 1, pedas level 2, pedas level 3, dan selanjutnya. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika gue
merasakan getaran-getaran cinta untuk pertama kalinya pada seseorang. Dan gue menganggapnya sebagai...., cinta pertama.
Namanya Onni, lucu ‘kan? Jangan terlalu cepat beranggapan bahwa lelaki ini jelek, kutu buku, pendek, buncit, dan punya jerawat batu berlusin-lusin di sekitar area wajahnya. Nama tidak selalu mencerminkan pemiliknya. Kalau gue boleh menyandingkannya dengan salah satu penyanyi papan atas ibu kota, maka Afgan Syahreza adalah orang yang tepat. Ya, jatuh cinta memang membutakan! Bahkan di mata gue Onni tidak hanya mirip Afgan Syahreza, tapi dia juga mirip Adam Levine, Brad Pitt, Jamie Dornan, sampai Jackie Chan.
Nggak hanya tampan dan memesona, Onni juga merupakan salah satu dari anggota geng anak-anak populer di sekolah gue saat itu. Prestasinya yang segudang, dan jabatannya sebagai wakil ketua OSIS, membuat kakak kelas gue itu jadi incaran gadis-gadis perawan seisi sekolah. Mulai dari kelas 1, kelas 2, kelas 3, bahkan ibu-ibu kantin juga banyak yang naksir dia. Oh iya, untuk ibu-ibu kantin ada pengecualian, mereka bukan gadis-gadis perawan, tapi ibu-ibu rumah tangga yang berkarier dibidang memasak dan buka lapak di kantin sekolah.
Sebagai adik kelas yang mencintai kakak kelasnya dengan diam-diam, tidak banyak yang bisa gue lakukan untuk menunjukan ketertarikan gue pada Onni. Kerap kali gue hanya bisa kepo status facebook-nya dan meninggalkan jejak ‘like’. Setiap kali Onni mempublikasikan foto selfie-nya, gue dengan semangat membabi buta menerjang ombak mendaki gunung lewati lembah akanmenyimpan foto itu. Sehingga setiap malam gue bisa memandanginya sampai tertidur pulas. Dengan harapan bisa bertemu Onni dalam mimpi, dan merajut kasih bersama hingga ‘bangun tidur’ memisahkan.  Miris.
Suatu ketika, ada keajaiban yang menghampiri gue dengan sukarela. Teman gue, sebut saja Bunga, memberikan satu informasi penting bahwa Onni sudah putus dari pacarnya yang juga anggota anak populer bernama Gadis, dan akhirnya resmi menyandang predikat ‘JOMBLO’ sebagaimana gue menopang gelar itu selama bertahun-tahun silam. Gue bahagia bukan main! Rasanya jauh lebih senang ketimbangdapat tiket gratis masuk Dufan.
Walau masih belum berani menunjukan rasa cinta secara terang-terangan, sekarang gue lebih fleksibel ketika berpapasan dengan Onni di koridor sekolah. Dulu, jangankan tersenyum, untuk menatap matanya yang terbalut kacamata saja gue nggak sanggup. Tapi, semenjak Onni ‘JOMBLO’ gue berani untuk senyum-senyum manja padanya setiap kali pandang kami bersirobok. Dengan kata lain, gue sudah banyak mengalami kemajuan yang signifikan. Semakin lama gue semakin berani untuk mengungkapkan eksistensi diri gue pada Onni. Seiring hormon estrogen yang meningkat selama masa pubertas dan respon positif dari Onni atas kehadiran gue yang semakin sering ia sadari, maka gue putuskan untuk memberanikan diri melakukan hal-hal lain padanya. Semisal, menyapanya.
“Hai, Kak.” sapa gue selembut mungkin saat berpapasan dengannya ketika mengantre untuk membeli bubur ayam di kantin.
“Oh hai, mau beli bubur juga?”
Jantung gue berhenti berdetak! Ralat, hampir berhenti berdetak, karena jika benar-benar berhenti berdetak, mungkin gue tidak akan bisa menuliskan cerita ini. Dengan kegugupan yang disembunyikan, gue menjawab. “Bukan, Kak. Mau beli fettucini carbonara.”
Onni mendelik bingung. Gue tertawa seayu mungkin. “Bercanda, Kak. Mau beli bubur ayam tentunya.”
Jikalau Onni bukan lelaki yang gue sukai, dan bukan lelaki yang gue idam-idamkan menjadi ayah dari anak-anak gue kelak, mungkin gue akan melemparinya dengan botol kecap saat itu juga karena basa-basinya yang nggak banget. Seketika, gue berharap agar ribuan meteor raksasa datang ke bumi dan meluluhlantakan segala yang ada. Biarkan sekolah ini runtuh! Biarkan kantin ini hancur! Biarkan semuanya binasa! Pecahkan saja mangkuk bubur ayamnya, biar mengaduh sampai gaduh! Asalkan gue bisa memeluk Onni dan mati bersama.
Itulah niat busuk gue sepanjang perjalanan mengantre membeli bubur ayam.
“Kak, kacamatanya baru, ya?”
“Kok tahu? Bapak kamu tukang kacamata, ya?”
Tidak, dia tidak menjawab seperti itu. Tapi seperti ini :
“Kamu tahu kacamata kakak yang lama? Tahu dari mana, padahal kalau kakak keluar kelas nggak pernah pakai kacamata.”
Ingin rasanya gue berlari ke tiang-tiang kantin dan menyanyikan bait-bait lagu Kuch Kuch Hota Hai, lalu berkata, “Aku sudah memerhatikanmu selama ini, wahai Sarukhan-ku.” Tapi, gue urungkan niat itu karena terlalu menjijikan.
“Pernah lihat Kakak pakai aja.” Gue berkilah. Gue berdusta. Gue memendam alasan sebenarnya.
“Oh gitu. Eh kayaknya kakak sering lihat kamu.”
Gue terdiam. Gue termangu. Gue mendadak bolot. Ini saatnya! Akhirnya Onni menyadari bahwa selama ini gue selalu berusaha hadir di sekitarnya, menunjukan bahwa gue selalu memerhatikannya diam-diam.
“Bubur ayamnya, Mas Onni, nggak pakai bawang goreng.” Panggil saja Ibu Kamboja, dia memberikan satu mangkuk penuh bubur ayam pada Onni sembari mengerling genit. Ibu Kamboja sepertinya mengajak gue berperang secara terang-terangan.
“Iya, makasih, Bu,” Onni yang baik hati tersenyum semanis gulali, lalu ia melanjutkan, “Kamu yang suka sama Jelez ‘kan? Yang suka ngintip di depan pintu kalau kakak sama Kak Jelez pipis bareng?”
Belum sempat  gue berkata, Onni sudah meninggalkan gue yang masih tercenung, dengan : “Kakak duluan, ya?”
Hati gue bertalu-talu tak menentu bagaikan genderang mau perang. Sesak rasanya, bagaikan ada kepedihan yang menginjak-injak harga diri gue seenaknya. Sejenak pikiran gue melayang entah ke mana dan gue hampir saja menangis ala telenovela, jika saja Ibu Kamboja tidak membentak gue. “Neng! Bengong aja, lihat tuh banyak yang antre. Nih bubur ayamnya.” Nampaknya dia memang benar-benar ingin berperang dengan gue.
Dan semenjak saat itu, gue selalu menghindari Onni, bahkan sampai saat ini gue belum sempat menjelaskan kalau kejadian di kamar mandi hanya salah paham belaka.
Bogor, 20 Agustus 2015

Related Post:

0 Komentar untuk "SALAH TEBAK Karya Mutiara Magdalena"

Back To Top