Masa-masa SMP adalah masa-masa indah yang tidak akan
pernah gue lupakan dalam hidup yang singkat ini. Pasalnya, saat-saat remaja
yang gue lalui selama 3 tahun di sana, memberikan gue banyak sekali pengalaman
sejuta rasa. Manis, kecut, pahit, pedas, pedas level 1, pedas level 2, pedas
level 3, dan selanjutnya. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika gue
merasakan getaran-getaran cinta untuk pertama kalinya pada seseorang. Dan gue
menganggapnya sebagai...., cinta pertama.
Namanya Onni, lucu ‘kan? Jangan terlalu cepat
beranggapan bahwa lelaki ini jelek, kutu buku, pendek, buncit, dan punya
jerawat batu berlusin-lusin di sekitar area wajahnya. Nama tidak selalu
mencerminkan pemiliknya. Kalau gue boleh menyandingkannya dengan salah satu penyanyi
papan atas ibu kota, maka Afgan Syahreza adalah orang yang tepat. Ya, jatuh
cinta memang membutakan! Bahkan di mata gue Onni tidak hanya mirip Afgan Syahreza,
tapi dia juga mirip Adam Levine, Brad Pitt, Jamie Dornan, sampai Jackie Chan.
Nggak hanya tampan dan memesona, Onni juga merupakan
salah satu dari anggota geng anak-anak populer di sekolah gue saat itu.
Prestasinya yang segudang, dan jabatannya sebagai wakil ketua OSIS, membuat
kakak kelas gue itu jadi incaran gadis-gadis perawan seisi sekolah. Mulai dari
kelas 1, kelas 2, kelas 3, bahkan ibu-ibu kantin juga banyak yang naksir dia.
Oh iya, untuk ibu-ibu kantin ada pengecualian, mereka bukan gadis-gadis
perawan, tapi ibu-ibu rumah tangga yang berkarier dibidang memasak dan buka
lapak di kantin sekolah.
Sebagai adik kelas yang mencintai kakak kelasnya
dengan diam-diam, tidak banyak yang bisa gue lakukan untuk menunjukan
ketertarikan gue pada Onni. Kerap kali gue hanya bisa kepo status facebook-nya
dan meninggalkan jejak ‘like’. Setiap
kali Onni mempublikasikan foto selfie-nya,
gue dengan semangat membabi buta menerjang ombak mendaki gunung lewati lembah
akanmenyimpan foto itu. Sehingga setiap malam gue bisa memandanginya sampai
tertidur pulas. Dengan harapan bisa bertemu Onni dalam mimpi, dan merajut kasih
bersama hingga ‘bangun tidur’ memisahkan.
Miris.
Suatu ketika, ada keajaiban yang menghampiri gue
dengan sukarela. Teman gue, sebut saja Bunga, memberikan satu informasi penting
bahwa Onni sudah putus dari pacarnya yang juga anggota anak populer bernama
Gadis, dan akhirnya resmi menyandang predikat ‘JOMBLO’ sebagaimana gue menopang
gelar itu selama bertahun-tahun silam. Gue bahagia bukan main! Rasanya jauh
lebih senang ketimbangdapat tiket gratis masuk Dufan.
Walau masih belum berani menunjukan rasa cinta
secara terang-terangan, sekarang gue lebih fleksibel ketika berpapasan dengan
Onni di koridor sekolah. Dulu, jangankan tersenyum, untuk menatap matanya yang
terbalut kacamata saja gue nggak sanggup. Tapi, semenjak Onni ‘JOMBLO’ gue
berani untuk senyum-senyum manja padanya setiap kali pandang kami bersirobok.
Dengan kata lain, gue sudah banyak mengalami kemajuan yang signifikan. Semakin
lama gue semakin berani untuk mengungkapkan eksistensi diri gue pada Onni.
Seiring hormon estrogen yang meningkat selama masa pubertas dan respon positif
dari Onni atas kehadiran gue yang semakin sering ia sadari, maka gue putuskan
untuk memberanikan diri melakukan hal-hal lain padanya. Semisal, menyapanya.
“Hai, Kak.” sapa gue selembut mungkin saat
berpapasan dengannya ketika mengantre untuk membeli bubur ayam di kantin.
“Oh hai, mau beli bubur juga?”
Jantung gue berhenti berdetak! Ralat, hampir
berhenti berdetak, karena jika benar-benar berhenti berdetak, mungkin gue tidak
akan bisa menuliskan cerita ini. Dengan kegugupan yang disembunyikan, gue
menjawab. “Bukan, Kak. Mau beli fettucini carbonara.”
Onni mendelik bingung. Gue tertawa seayu mungkin.
“Bercanda, Kak. Mau beli bubur ayam tentunya.”
Jikalau Onni bukan lelaki yang gue sukai, dan bukan
lelaki yang gue idam-idamkan menjadi ayah dari anak-anak gue kelak, mungkin gue
akan melemparinya dengan botol kecap saat itu juga karena basa-basinya yang
nggak banget. Seketika, gue berharap agar ribuan meteor raksasa datang ke bumi
dan meluluhlantakan segala yang ada. Biarkan sekolah ini runtuh! Biarkan kantin
ini hancur! Biarkan semuanya binasa! Pecahkan saja mangkuk bubur ayamnya, biar
mengaduh sampai gaduh! Asalkan gue bisa memeluk Onni dan mati bersama.
Itulah niat busuk gue sepanjang perjalanan mengantre
membeli bubur ayam.
“Kak, kacamatanya baru, ya?”
“Kok tahu? Bapak kamu tukang kacamata, ya?”
Tidak, dia tidak menjawab seperti itu. Tapi seperti
ini :
“Kamu tahu kacamata kakak yang lama? Tahu dari mana,
padahal kalau kakak keluar kelas nggak pernah pakai kacamata.”
Ingin rasanya gue berlari ke tiang-tiang kantin dan
menyanyikan bait-bait lagu Kuch Kuch Hota Hai, lalu berkata, “Aku sudah
memerhatikanmu selama ini, wahai Sarukhan-ku.” Tapi, gue urungkan niat itu
karena terlalu menjijikan.
“Pernah lihat Kakak pakai aja.” Gue berkilah. Gue
berdusta. Gue memendam alasan sebenarnya.
“Oh gitu. Eh kayaknya kakak sering lihat kamu.”
Gue terdiam. Gue termangu. Gue mendadak bolot. Ini
saatnya! Akhirnya Onni menyadari bahwa selama ini gue selalu berusaha hadir di
sekitarnya, menunjukan bahwa gue selalu memerhatikannya diam-diam.
“Bubur ayamnya, Mas Onni, nggak pakai bawang
goreng.” Panggil saja Ibu Kamboja, dia memberikan satu mangkuk penuh bubur ayam
pada Onni sembari mengerling genit. Ibu Kamboja sepertinya mengajak gue
berperang secara terang-terangan.
“Iya, makasih, Bu,” Onni yang baik hati tersenyum
semanis gulali, lalu ia melanjutkan, “Kamu yang suka sama Jelez ‘kan? Yang suka
ngintip di depan pintu kalau kakak sama Kak Jelez pipis bareng?”
Belum sempat
gue berkata, Onni sudah meninggalkan gue yang masih tercenung, dengan :
“Kakak duluan, ya?”
Hati gue bertalu-talu tak menentu bagaikan genderang
mau perang. Sesak rasanya, bagaikan ada kepedihan yang menginjak-injak harga
diri gue seenaknya. Sejenak pikiran gue melayang entah ke mana dan gue hampir
saja menangis ala telenovela, jika saja Ibu Kamboja tidak membentak gue. “Neng!
Bengong aja, lihat tuh banyak yang antre. Nih bubur ayamnya.” Nampaknya dia
memang benar-benar ingin berperang dengan gue.
Dan semenjak saat itu, gue selalu menghindari Onni,
bahkan sampai saat ini gue belum sempat menjelaskan kalau kejadian di kamar
mandi hanya salah paham belaka.
Bogor, 20 Agustus 2015
0 Komentar untuk "SALAH TEBAK Karya Mutiara Magdalena"