Bahasa dan Sastra Indonesia

Sabtu Malam Chiyo Karya Fitri Yulia Rachmawati


            Sabtu malam kali ini Fay dan Ida berencana menginap di kostku. Kamarku berada di lantai dua. Belum sampai di kamarku, Fay tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Eh, kok ada kismis bertebaran disitu?” tanya Fay. Tangannya menunjuk ke lantai salah satu sudut koridor lantai dua.
            “Itu bukan kismis,” jawabku. “Coba lihat ke atas.”

            Fay dan Ida mengikuti titahku. Di atap tempat kami berdiri, tujuh kelelawar sedang bergelantungan dengan khusyuk. “Astaga, jangan bilang kalau kismis itu sebenarnya hasil metabolisme kelelawar,” kata Fay.
            Aku mengangguk dengan takzim. Ya, kelelawar itu sudah ada sejak aku masuk kost ini. Lama-lama aku kesal juga kalau harus selalu membersihkan kotorannya. Bagaimana pun, kelelawar itu harus pergi. Namun aku tak berani jika hanya sendiri. Sedangkan aku pun merasa tak enak jika meminta pertolongan teman se-kost karena aku belum terlalu mengenal mereka. Maafkan aku, Fay dan Ida, malam ini aku mengundang kalian bukan hanya untuk sekadar menginap. Aku membutuhkan bantuan kalian.
“Jadi, misi kita malam ini adalah mengusir kelelawar itu.”
Aku berencana membuat alat pengusir kelelawar. Alat itu terbuat dari sapu atap yg salah satu ujungnya dipasang lampu 18 watt.
---o0o---
            “Kok kamu punya peralatan tukang, sih?” tanya Ida, seraya memaku salah satu ujung sapu atap. Aku diam saja, masih sibuk membuka gulungan kabel lampu sepanjang delapan meter. Sementara itu Fay membantu memegang sapu atap yang dipaku Ida. Rencananya, lampu akan dipasangkan pada ujung sapu atapdengan cara melilitkan kabelnya pada paku dan kemudian sapu atap itu ditaruh di bawah tempat kelelawar bergelantungan. Sumber listriknya berasal dari kamarku. Ideku memang sangat brilian.
            “Kenapa bukan dindingnya aja yang dipaku? Kalau begini kan, merusak properti. Kayunya keras pula,” keluh Ida.
            “Disini gak ada tangga, padahal kamu tahu kan, tinggi atapnya sekitar empat meter. Emangnya kamu sampai? Sapu atapnya aja masih diganjal bangku supaya lebih tinggi,” jawabku. Ida mendengus kesal.
            “Nih, udah kupaku. Terus gimana pasang lampunya?”
            “Hemm... Sini sapunya,” Ida kemudian menyerahkan sapu atap kepadaku.
“Sebelum lampunya dipasang, aku coba usir dulu ya kelelawarnya?” kataku, seraya mengacung-acungkan sapu atap ke arah kelelawar bergelantungan.
            “Jangan, Yo... Nanti kelelawarnya berhamburan dan menjambak-jambak rambut kita,” sahut Fay panik.
            Demi melihat wajah Fay yang panik, aku malah makin menggodanya seraya perlahan mengacungkan sapu atap ke arah kelelawar. “Usir, ya? Usir, ya?”
            “Jangaaaann... Aku takuuut!!”
            Tepat satu setengah meter sebelum sapu menyentuh kelelawar, kelelawar-kelelawar tersebut terbang, berhamburan dan mengeluarkan suara melengking menyayat hati. Suasana mendadak chaos.
            “AAAAAKKK...!!!” kami berteriak histeris. Namun tak ada satupun dari kami yang mampu beranjak satu sentimeter pun. Kami hanya bisa berbalik sambil menutup rambut dengan kedua tangan. Di benak kami, yang ada hanyalah kemungkinan bahwa kelelawar tersebut akan menjambak rambut kami. Sebenarnya aku mau saja menjambak balik, tapi nanti jadi seperti pertengkaran jupe-depe. Tak sudi aku.
            Sementara itu, suara kepakan sayap dan suara melengking masih saja bersahut-sahutan.
            Aku hanya bisa berdoa sebelum siksaan itu –kemungkinan- terjadi, Ya Allah, Ampuni dosa hamba... Ampuni dosa hamba...
            Ternyata, kelelawar itu hanya berputar sebentar, dan pergi entah kemana. Kami pun hanya melongo saling berpandangan heran. Aku kemudian tersadar akan sesuatu yang amat penting.
            “Lho, sapunya kemanaaa? Tadi masih kupegang, lho.”
            “Mungkin dibawa kelelawar,” jawab Fay dengan tatapan kosong. Buat apa? batinku.
            “I... itu... disana,” kata Ida. Ternyata, tanpa kusadari, sapunya terlempar begitu saja hingga ke ujung koridor lantai dua.
Sapu dan gagangnya terpisah, patah.
Aku merusak properti.
---o0o---
            Setelah kejadian itu –dan memasang lampu dengan benar untuk mencegah kelelawar itu kembali-, kami memutuskan untuk segera tidur. Walaupun sesekali terdengar suara tawa yang tertahan. Malam minggu, eh, maksudku sabtu malam kali ini memang unbelievable.

Related Post:

0 Komentar untuk "Sabtu Malam Chiyo Karya Fitri Yulia Rachmawati"

Back To Top