Sabtu
malam kali ini Fay dan Ida berencana menginap di kostku. Kamarku berada di
lantai dua. Belum sampai di kamarku, Fay tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Eh, kok ada kismis bertebaran disitu?”
tanya Fay. Tangannya menunjuk ke lantai salah satu sudut koridor lantai dua.
“Itu
bukan kismis,” jawabku. “Coba lihat ke atas.”
Fay
dan Ida mengikuti titahku. Di atap tempat kami berdiri, tujuh kelelawar sedang
bergelantungan dengan khusyuk. “Astaga, jangan bilang kalau kismis itu
sebenarnya hasil metabolisme kelelawar,” kata Fay.
Aku
mengangguk dengan takzim. Ya, kelelawar itu sudah ada sejak aku masuk kost ini.
Lama-lama aku kesal juga kalau harus selalu membersihkan kotorannya. Bagaimana
pun, kelelawar itu harus pergi. Namun aku tak berani jika hanya sendiri.
Sedangkan aku pun merasa tak enak jika meminta pertolongan teman se-kost karena
aku belum terlalu mengenal mereka. Maafkan aku, Fay dan Ida, malam ini aku mengundang
kalian bukan hanya untuk sekadar menginap. Aku membutuhkan bantuan kalian.
“Jadi, misi kita malam ini adalah
mengusir kelelawar itu.”
Aku berencana membuat alat pengusir
kelelawar. Alat itu terbuat dari sapu atap yg salah satu ujungnya dipasang lampu
18 watt.
---o0o---
“Kok
kamu punya peralatan tukang, sih?” tanya Ida, seraya memaku salah satu ujung
sapu atap. Aku diam saja, masih sibuk membuka gulungan kabel lampu sepanjang
delapan meter. Sementara itu Fay membantu memegang sapu atap yang dipaku Ida. Rencananya,
lampu akan dipasangkan pada ujung sapu atapdengan cara melilitkan kabelnya pada
paku dan kemudian sapu atap itu ditaruh di bawah tempat kelelawar bergelantungan.
Sumber listriknya berasal dari kamarku. Ideku memang sangat brilian.
“Kenapa
bukan dindingnya aja yang dipaku? Kalau begini kan, merusak properti. Kayunya
keras pula,” keluh Ida.
“Disini
gak ada tangga, padahal kamu tahu kan, tinggi atapnya sekitar empat meter.
Emangnya kamu sampai? Sapu atapnya aja masih diganjal bangku supaya lebih
tinggi,” jawabku. Ida mendengus kesal.
“Nih,
udah kupaku. Terus gimana pasang lampunya?”
“Hemm...
Sini sapunya,” Ida kemudian menyerahkan sapu atap kepadaku.
“Sebelum lampunya dipasang, aku coba
usir dulu ya kelelawarnya?” kataku, seraya mengacung-acungkan sapu atap ke arah
kelelawar bergelantungan.
“Jangan,
Yo... Nanti kelelawarnya berhamburan dan menjambak-jambak rambut kita,” sahut
Fay panik.
Demi
melihat wajah Fay yang panik, aku malah makin menggodanya seraya perlahan
mengacungkan sapu atap ke arah kelelawar. “Usir, ya? Usir, ya?”
“Jangaaaann...
Aku takuuut!!”
Tepat
satu setengah meter sebelum sapu menyentuh kelelawar, kelelawar-kelelawar
tersebut terbang, berhamburan dan mengeluarkan suara melengking menyayat hati.
Suasana mendadak chaos.
“AAAAAKKK...!!!”
kami berteriak histeris. Namun tak ada satupun dari kami yang mampu beranjak
satu sentimeter pun. Kami hanya bisa berbalik sambil menutup rambut dengan
kedua tangan. Di benak kami, yang ada hanyalah kemungkinan bahwa kelelawar tersebut
akan menjambak rambut kami. Sebenarnya aku mau saja menjambak balik, tapi nanti
jadi seperti pertengkaran jupe-depe. Tak sudi aku.
Sementara
itu, suara kepakan sayap dan suara melengking masih saja bersahut-sahutan.
Aku
hanya bisa berdoa sebelum siksaan itu –kemungkinan- terjadi, Ya Allah, Ampuni dosa hamba... Ampuni dosa
hamba...
Ternyata,
kelelawar itu hanya berputar sebentar, dan pergi entah kemana. Kami pun hanya
melongo saling berpandangan heran. Aku kemudian tersadar akan sesuatu yang amat
penting.
“Lho,
sapunya kemanaaa? Tadi masih kupegang, lho.”
“Mungkin
dibawa kelelawar,” jawab Fay dengan tatapan kosong. Buat apa? batinku.
“I...
itu... disana,” kata Ida. Ternyata, tanpa kusadari, sapunya terlempar begitu
saja hingga ke ujung koridor lantai dua.
Sapu dan gagangnya terpisah, patah.
Aku merusak properti.
---o0o---
Setelah
kejadian itu –dan memasang lampu dengan benar untuk mencegah kelelawar itu
kembali-, kami memutuskan untuk segera tidur. Walaupun sesekali terdengar suara
tawa yang tertahan. Malam minggu, eh, maksudku sabtu malam kali ini memang unbelievable.
0 Komentar untuk "Sabtu Malam Chiyo Karya Fitri Yulia Rachmawati"