Aku rindu
masa putih abu-abu ku, aku juga rindu masa-masa Praktek Kerja Lapangan (PKL).
Mengingat masa lalu, aku suka tertawa geli sendiri. Banyak sekali kekonyolan dan
kelucuan yang sering ku temui disana. Biarku perjelas dahulu, ruangan ku di
lantai tujuh dan tugasku bermacam-macam, tapi tugas yang paling aku sukai
adalah mengantar surat ke lantai empat.
Hari
pertama PKL aku datang terlambat, dan ketika aku masuk ruangan ternyata surat
yang harus ku antar sudah lumayan banyak. Akupun langsung mengantar surat ke
lantai empat, wajah warga lantai empat jutek-jutek sekali. Perasaanku tidak
enak, benar saja ketika aku meminta tanda tangan pada buku ekspedisi, malah aku
disuruh nyanyi. "Lo anak PKL baru ya, kalau mau gue tanda tanganin, lo
nyanyi balonku ada lima pake eng" Kata Ka Dewi dengan wajah juteknya.
"Yah kak mana bisa" kataku dengan wajah melas."Yaudah gue tanda
tanganinnya sampai lo nyanyi", akhirnya akupun berusaha sambil menahan
tawa menyanyikan lagu balonku ada lima dengan eng "benglengkeng engdeng
lengmeng, rengpeng-rengpeng werneng nyeng...." , semua orang yang ada
diruangan itupun tertawa.
Hari kedua
PKL aku seperti biasa mengantar surat kelantai empat, aku mencari Kak Dewi
tetapi tidak ada, yang ada hanya pria berkaca mata entah siapa namanya aku
belum tahu, "Maaf kak, Kak Dewi nya mana ya? Ini ada surat masuk, trus
juga mau minta fotocopian undangan konsinyering kak" kataku sambil
berdiri. "Duduk dulu sini, nanti gue bikinin kopi, lo mau kopi kan? sini
gue tanda tanganin si Dewi gak ada" kata pria berkaca mata itu. Dan aku
tetap pada posisi berdiriku, sambil reflek tertawa menepuk tangan pria itu.
"Kak buruan kak ntar aku diomelin disangka keluyuran", pria itu
segera menandatangani buku ekspedisi tetapi belum memberikan fotocopian
undangan konsinyering nya, "Lo duduk dulu nanti gue kasih kopiannya, oiya
nama lo siapa gue belum tau", "MUNAROH" tiba-tiba mulut ku
menjawab asal jeplak. "ohhh munaroh, bentar ya gue ambilin kopiannya
roh" pria berkacamata itupun membawakan kopi dan kue kepadaku, "nih
roh kopi sama kuenya, lo laper kan? makan dulu satu kuenya baru gue kasih tuh
undangan" , akupun dengan melas menjawab "kak buruan dong kak ya allah,
nama kakak siapa sih ntar aku bilangin ke orang ruanganku kalo kaka gak mau
ngasih undangannya", "nanya-nanya nama lagi lo, ayo makan dulu kuenya
nanti gue kasih tau nama gue dan kopiannya segera gue kasih" dengan berat
hati aku memakan kue nya, untung saja enak tuh kue. Dan ternyata fotocopian
yang aku tunggu-tunggu ada didepan ku, didekat buku ekspedisi, aku tertipu,
dasar nyebelin, tau gitu dari tadi aja aku ambil.
Selama
hampir dua bulan disana, aku semakin akrab dengan kakak warga lantai empat,
sampai ketika waktu itu jam istirahat dikantin ketika aku sedang berjalan
bersama temanku Adelia dan Taufa, ada seseorang dari kumpulan pria-pria muda
berkemeja rapih berteriak tiga kali kearahku "MUNAROH...MUNAROH...HEH
MUNAROH", "Ah apaansih" kataku sambil berjalan cepat menahan
malu. "Kok kakak itu manggil lo munaroh? cie panggilan sayang tuh
yee" kata Adelia, Taufa juga ikut berkomentar "Kok dia gak malu ya
manggil-manggil lu didepan temen-temennya" , aku diam saja.
Jam
istirahat selesai dan aku kembali mengantar surat kelantai empat, baru saja
membuka pintu belum masuk sudah terdengar suara "ini dia nih wi orangnya
yang tadi gue panggil dikantin malah bilang apaansih hahaha dasar
munaroh", aku jadi malas masuk dan ku tutup pintu itu kembali. Tapi aku
butuh tanda tangannya, aku harus masuk. Aku buka kembali pintu itu, ternyata
didepan pintu ada pria berkacamata itu mengagetkan ku "waaaa", sukses
dia mengagetkanku. Sukses dia membuat orang-orang diruangan itu menertawakanku.
2 Komentar untuk "MUNAROH KARYA: MARIAH ULFA"
komen
komen