Bahasa dan Sastra Indonesia

MUNAROH KARYA: MARIAH ULFA


Aku rindu masa putih abu-abu ku, aku juga rindu masa-masa Praktek Kerja Lapangan (PKL). Mengingat masa lalu, aku suka tertawa geli sendiri. Banyak sekali kekonyolan dan kelucuan yang sering ku temui disana. Biarku perjelas dahulu, ruangan ku di lantai tujuh dan tugasku bermacam-macam, tapi tugas yang paling aku sukai adalah mengantar surat ke lantai empat.


Hari pertama PKL aku datang terlambat, dan ketika aku masuk ruangan ternyata surat yang harus ku antar sudah lumayan banyak. Akupun langsung mengantar surat ke lantai empat, wajah warga lantai empat jutek-jutek sekali. Perasaanku tidak enak, benar saja ketika aku meminta tanda tangan pada buku ekspedisi, malah aku disuruh nyanyi. "Lo anak PKL baru ya, kalau mau gue tanda tanganin, lo nyanyi balonku ada lima pake eng" Kata Ka Dewi dengan wajah juteknya. "Yah kak mana bisa" kataku dengan wajah melas."Yaudah gue tanda tanganinnya sampai lo nyanyi", akhirnya akupun berusaha sambil menahan tawa menyanyikan lagu balonku ada lima dengan eng "benglengkeng engdeng lengmeng, rengpeng-rengpeng werneng nyeng...." , semua orang yang ada diruangan itupun tertawa.

Hari kedua PKL aku seperti biasa mengantar surat kelantai empat, aku mencari Kak Dewi tetapi tidak ada, yang ada hanya pria berkaca mata entah siapa namanya aku belum tahu, "Maaf kak, Kak Dewi nya mana ya? Ini ada surat masuk, trus juga mau minta fotocopian undangan konsinyering kak" kataku sambil berdiri. "Duduk dulu sini, nanti gue bikinin kopi, lo mau kopi kan? sini gue tanda tanganin si Dewi gak ada" kata pria berkaca mata itu. Dan aku tetap pada posisi berdiriku, sambil reflek tertawa menepuk tangan pria itu. "Kak buruan kak ntar aku diomelin disangka keluyuran", pria itu segera menandatangani buku ekspedisi tetapi belum memberikan fotocopian undangan konsinyering nya, "Lo duduk dulu nanti gue kasih kopiannya, oiya nama lo siapa gue belum tau", "MUNAROH" tiba-tiba mulut ku menjawab asal jeplak. "ohhh munaroh, bentar ya gue ambilin kopiannya roh" pria berkacamata itupun membawakan kopi dan kue kepadaku, "nih roh kopi sama kuenya, lo laper kan? makan dulu satu kuenya baru gue kasih tuh undangan" , akupun dengan melas menjawab "kak buruan dong kak ya allah, nama kakak siapa sih ntar aku bilangin ke orang ruanganku kalo kaka gak mau ngasih undangannya", "nanya-nanya nama lagi lo, ayo makan dulu kuenya nanti gue kasih tau nama gue dan kopiannya segera gue kasih" dengan berat hati aku memakan kue nya, untung saja enak tuh kue. Dan ternyata fotocopian yang aku tunggu-tunggu ada didepan ku, didekat buku ekspedisi, aku tertipu, dasar nyebelin, tau gitu dari tadi aja aku ambil.

Selama hampir dua bulan disana, aku semakin akrab dengan kakak warga lantai empat, sampai ketika waktu itu jam istirahat dikantin ketika aku sedang berjalan bersama temanku Adelia dan Taufa, ada seseorang dari kumpulan pria-pria muda berkemeja rapih berteriak tiga kali kearahku "MUNAROH...MUNAROH...HEH MUNAROH", "Ah apaansih" kataku sambil berjalan cepat menahan malu. "Kok kakak itu manggil lo munaroh? cie panggilan sayang tuh yee" kata Adelia, Taufa juga ikut berkomentar "Kok dia gak malu ya manggil-manggil lu didepan temen-temennya" , aku diam saja.
Jam istirahat selesai dan aku kembali mengantar surat kelantai empat, baru saja membuka pintu belum masuk sudah terdengar suara "ini dia nih wi orangnya yang tadi gue panggil dikantin malah bilang apaansih hahaha dasar munaroh", aku jadi malas masuk dan ku tutup pintu itu kembali. Tapi aku butuh tanda tangannya, aku harus masuk. Aku buka kembali pintu itu, ternyata didepan pintu ada pria berkacamata itu mengagetkan ku "waaaa", sukses dia mengagetkanku. Sukses dia membuat orang-orang diruangan itu menertawakanku.

Related Post:

2 Komentar untuk "MUNAROH KARYA: MARIAH ULFA"

Back To Top