Harga
Bahan Bakar Minyak saat ini mengalami penurunan setelah sebelumnya mengalami
peningkatan. Hal
ini menyebabkan…
“Haduh… harga BBM naik turun, naik
turun. Tapi kenapa harga barang-barang pokok naik terus.”
Gerutuan sang ayah membuat Tiar
menghentikan sejenak acara membaca komik pada laptop
kesayangannya. Matanya
kemudian ikut melirik ke arah acara berita yang tengah ayahnya tonton.
“Ah.. hal itu disebabkan oleh anomali
dalam hukum permintaan dimana hukum permintaan tidak akan berlaku untuk
beberapa barang misalnya barang primer, barang…”
“Ya.. ya…” potong sang ayah sambil
mengganti saluran televisi sehingga kini acara dangdut yang akhir-akhir ini
digemari terpampang di layar 21 inch itu. “Ayah tau kalau kamu itu kuliah di
jurusan ekonomi tapi maaf ya sayang. Ayah tidak mengerti sama sekali apa yang
kamu bicarakan. Jadi percuma saja menjelaskan semuanya sama ayah.”
Tiar mendengus sebal kemudian kembali
memusatkan perhatiannya pada cowok-cowok tampan dua dimensi favoritnya.
“Tiar…”
“…”
“TIAR!”
“Eh.. ada apa, Bu?”
Tiar langsung gelagapan dan menoleh
kilat ke arah ibunya yang tengah berdiri sambil berkacak pinggang. Dirinya
terlalu fokus pada komik kesayangan hingga tidak mendengar suara menggelegar
ibunya.
“Ayo ikut ibu.”
“Kemana?”
“Beli bensin. Supaya besok pagi waktu
mengantar kamu ke terminal tidak repot beli bensin.”jawab Ibu sambil mengambil
kunci motor.
Tiar mengangguk paham. Ah.. besok dia
harus pergi ke kota sebelah karena dosen-dosen tercinta sudah siap memberikan
tugas untuknya dan teman-teman seperjuangannya.
“Sekarang Bu?”
“Tahun depan!”jawab si ibu ketus sambil
melengos pergi.
Tiar menghela napas pelan. Matanya
menatap tidak rela pada laptop yang masih menampilkan gambar berwarna hitam
putih itu. Ck, padahal ia hampir menyelesaikan tiga volume dari komik bertema
basket itu.
“Tiiiaaarrrr?”
Suara manis ibunya yang terasa mencekam
membuat Tiar langsung meletakkan laptopnya kemudian menyambar handphone putih
yang ada di meja dan segera menyusul ibunya yang sudah menunggu di luar rumah.
Angin malam langsung menerpanya saat Tiar keluar rumah. Apalagi ia hanya
memakai celana pendek selutut dan kaos yang tidak cukup tebal untuk
menghangatkan tubuhnya.
“Beli dimana, Bu?” tanya Tiar sambil
memainkan handphonenya.
Sang ibu yang bertugas menyetir terdiam
sejenak,”Em.. dimana aja yang penting ada.”jawab wanita yang paling Tiar cintai
dengan seenaknya.
Gadis berambut pendek itu mengangguk
paham. Dia sudah terlalu hafal dengan kelakuan seenaknya sang ibu. Lagipula ia
hanya sebagai teman perjalanan menuju toko terdekat.
Tidak sampai lima menit mereka sampai
pada toko terdekat pertama. Papan kayu yang tertutup rapat menandakan bahwa
tidak ada harapan untuk memperoleh bensin disana. Dengan perasaan tidak terlalu
kecewa mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di toko terdekat kedua.
Lampu terang yang masih menjala memberikan mereka cahaya harapan untuk
memperoleh minuman bagi si motor bebek hitam.
“Turun. Tanyain ada bensin
tidak.”perintah sang ibu sambil menghentikan motor di depan toko tanpa
mematikan mesinnya.
Tiar segera turun kemudian berjalan mendekati toko yang pemiliknya
adalah saudara jauhnya. Sedangkan wanita tercinta tengah memutar arah motor
menuju jalan awal yang mereka lalui tadi.
“Mbak Rin, bensinnya masih ada?” teriak
Tiar sambil menoleh kearah botol-botol bensin yang kosong.
“Habis Tiar.”jawab seorang wanita yang
keluar dari toko itu.
“Yah…”desah Tiar kecewa sambil mendekati
sang ibu. “Habis, Bu. Coba ke Paman Husen.”
“Baiklah.”
“Memangnya malam-malam begini mau kemana
Tiar?” tanya wanita yang Tiar panggil Mbak Rin.
Tiar yang tengah mengangkat kakinya
hendak naik ke jok belakang motor segera menoleh,”Ah.. ini bensin untuk….”
BRUMMM!!!
Gadis yang masih mengangkat kakinya itu
melongo parah saat melihat ibunya yang menjalankan motor dengan santainya.
Punggung ibunya terlihat semakin menjauh hingga akhirnya ia tersadar saat
mendengar tawa kecil dari Mbak Rin.
“Ibu! Ibu!” Tiar berteriak memanggil
ibunya sambil berlari. Rasa geli yang tidak dapat lagi ia tahan membuat ia
berteriak sambil tertawa. Ia hanya tidak menyangka bahwa ibunya bisa pergi
begitu saja tanpa sadar bahwa ia belum duduk manis diboncengan.
“Ibu! Ibu! Jangan tinggalkan aku!”
teriak Tiar lebih keras tetapi sepertinya ibunya tidak dapat mendengar.
Maklumlah, faktor usia yang tidak muda ditambah jarak yang memisahkan mereka
berdua menyebabkan suara melengking Tiar tidak terdengar.
***
“Tiar, bagaimana kalau kita beli
gorengan juga? Sepertinya enak waktu dingin seperti ini.” Ucap sang ibu sambil
mengendari motor dengan nyamannya tanpa menyadari bahwa ia telah meninggalkan
si anak tercinta.
“….”
“Tiar, ibu tanya kok tidak dijawab.
Jangan main handphone terus. Nanti matamu cepet rusak.”
“….”
“Tiar?”
“….”
“TIAR!”
Kesal tidak ditanggapi sang ibu langsung
menghentikan motor dan menoleh ke belakang,”Ti-“ ucapannya langsung terhenti
saat jok belakang motor bebek itu kosong. Matanya membulat sempurna dengan dada
bergemuruh karena khawatir.
“Dimana Tiar? Apa mungkin dia jatuh?”
ucap sang ibu sambil kembali memutar arah untuk menemukan anaknya yang
tertinggal.
***
Sementara itu Tiar hanya bisa berdiri di
bawah lampu di pertigaan jalan. Dia sudah terlalu lelah untuk mengejar ibunya.
“Aghh Ibu! Kenapa aku ditinggalkan?”
END dengan tidak elitnya ^^
0 Komentar untuk "Diriku yang Kau Tinggalkan karya Amalia Dwi Arti"