Malang, 21 Agustus 2015
4 tahun lalu tepatnya ditahun 2011 aku duduk dibangku
Sekolah Menengah Atas (SMA). Setiap 2 minggu sekali diadakan praktek renang
dikelas olahraga. Aku siswi dikelas X-2 mendapat jadwal renang hari kamis
berbarengan dengan kelas X-4. Antara siswa dan siswi dibedakan jadwalnya karena
sekolahku meski bukan berlatar belakang sekolah islam namun para siswinya
diwajibkan untuk memakai jilbab dan setiap hari aktifitas disekolah nggak jauh sama
yang berbau-bau islami tapi
tetep aja
guru olahraganya laki-laki. Setelah bel 4 kali berbunyi, menandakan jam sekolah
hari itu usai. Setiba dirumah aku menyiapkan pakaian renang lalu makan meski
sedikit untuk menambah asupan energi agar terhindar dari kelelahan saat
berenang.
Setelah berpamitan, aku memacu motor yang setia
menemaniku setiap pagi berangkat sekolah. Waktu tempuh dari rumah ke tempat
pemandian sekitar 25 menit jika jalanan tidak macet. Teman-teman sudah pada
antri di loket saat aku tiba disana. Dengan membayar tarif sebesar Rp.8.000 harga
yang dipatok bagi pelajar, sudah dapat
menikmati wahana yang ada. Terdapat 3 bagian utama kolam renang. Satu lokasi
khusus dewasa dan sering dijadikan untuk tes renang para siswa sekolah maupun
les renang oleh beberapa orang, satu lokasi dilengkapi wahana seluncur setinggi
7 meter dan satu lagi khusus bagi anak-anak dengan wahana air mancur, miniatur
delman serta seluncur yang pastinya ketinggian disesuaikan dengan tinggi
anak-anak.
Pak
Wiryo sudah tiba lebih dulu maka beliau memberi arahan supaya kami segera
bergegas ganti pakaian renang dan melakukan pemanasan. Memang pemanasan sangat
diperlukan sebelum berenang agar otot-otot tidak kaku yang dapat memicu kram.
Sekitar 10 menit pemanasan, kami mulai menceburkan diri ke air. Jujur aku orang
yang nggak bisa renang kecuali gaya punggung. Itupun jika lama nggak pernah
berenang ya harus berlatih lagi. Kalau biasanya yang di teskan gaya bebas maka
terlihat bukan gaya sebenarnya yang aku lakukan, justru mirip kucing berenang
dengan kepala mendongak sewaktu nyemplung di air. Glagepan istilah jawanya. Beruntungnya pak Wiryo memperbolehkan
kami untuk memilih gaya yang dikuasai. “Gaya batu kali boleh apa nggak ya?”
Begitu pikirku.
Teman-temanku
banyak yang jago renang, ketauan banget kalau masa kecilnya sering lumban (berenang) dikali. Nggak butuh
waktu lama untuk menguji pada yang sudah jago, nah kini giliran yang punya
trauma dengan tenggelam biasanya sedikit ragu setiap mau mulai meluncur. Aku
sudah 1 jam mengepak-epakkan kakiku dipinggir kolam untuk melatih gerakan kaki,
lebih dulu tes cepet selesai. Ok dan akhirnya aku nekad juga, mulai posisi
terlentang dan siap meluncur. Renangnya harus bolak-balik ditambah lagi yang
diambil sisi panjang kolam. Sungguh perjalanan yang tiada berujung.
Beruntungnya aku sukses 1 putaran, sekarang aku mengatur napas untuk mulai
lagi. Lebih milih lari 1 Km pulang-pergi rasanya. “Ayo, Tia balik kesini. Kamu
pasti bisa.” Teriakan pak Wiryo cukup menambah percaya diriku.
Begitu
aku mulai lagi rasanya agak aneh dari yang awal tadi, sampai di tengah-tengah
kolam aku sudah nggak kuat lagi dan sepertinya mau balik ke tepi juga nggak
bisa. Begitu aku lihat di depan ada orang, aku berusaha meraihnya dan siapa tau
bisa membantuku ke tepi. Aku sudah memegang bahu orang itu, tapi kok dia juga
nggak bisa berenang, udah gitu kakiku dan dia sama-sama tidak bisa mencapai
dasar kolam. Waduh gawat, dia mulai ngomel-ngomel. “Mbak, jangan pegang bahu
saya, saya nggak bisa berenang, ahapp.” (plukplukplukpluk) dia mulai aku dorong
kebawah. “mbak, aku juga nggak bisa berenang, happp” sekarang aku yang ganti
masuk ke air dan sudah berliter-liter air aku teguk. “mbak, lepasin”. “Mbak
tahan sebentar, tolong!”. Serasa main jungkai-jungkit didalam air. “Iya udah,
kita pegangan tangan aja.” Tapi kok malah sama-sama tenggelam, dan adegan itu
berdurasi 2 menit yang mampu mengurangi jumlah volume air dalam kolam.
Pak
Wiryo akhirnya membantu kami berdua yang terlihat kewalahan dan tak sanggup
bertahan lebih lama lagi dalam air. Sampai didaratan aku batuk-batuk dan
guling-guling karena dadaku terasa sesak. Dan dia yang tadi ikut tenggelam
bersamaku ternyata Yulia anak kelas X-4 nggak kalah ekstrim, dia malah
lompat-lompat sambil batuk-batuk. Setelah agak reda, aku meminta maaf ke Yulia
karena sudah menyulitkan dia. Sekian.
0 Komentar untuk "Jungkat-Jungkit Air karya Tina Septiana"