Bahasa dan Sastra Indonesia

ABNESS Karya Wida Nurul Alfisyahrin



            Ada dua hal yang harus kalian perhatikan sebelum membaca cerita ini. Pertama, terserah kalian percaya atau tidak, tapi cerita ini benar-benar terjadi di kehidupan gue. Kedua, maaf kalau tidak lucu. Nama? Alin. Gue berusia 19 tahun dan sekarang sedang menempuh kuliah di semester kelima Institusi kenamaan Indonesia. Gue menyewa sebuah rumah di dekat kampus bersama dengan
4 orang teman dekat. Entah bagaimana awal pertemanan kami, tapi orang lain selalu berkata kalau kami dekat karena kami sama-sama abnormal atau abness –seperti itulah kami menyebutnya, yang sialnya kadang gue akui itu benar. Gue merasa normal ketika berada dengan mereka walaupun mereka menegaskan kalau gue adalah Presiden Abness di rumah. Yang membuat gue lebih abnormal ialah kenapa gue masih berteman dengan mereka.
            Suatu hari, gue lagi menikmati lagu di dalam kamar ketika gue mendengar suara geraman dan gonggongan dari luar kamar. Seinget gue, di sekitar rumah ini gak ada yang memelihara anjing. Lagipula, gue denger tuh suara seolah-olah anjing itu tepat berada di depan kamar gue. Gue pun mencoba membuka pintu kamar dan melihat apa yang terjadi. Jujur, gue takut anjing.
            Gue terkejut ketika ada sebuah makhluk berbadan gempal berkulit coklat yang sedang menggeram ke arah seekor kucing yang berada di depan kamar gue.
“Ggrrrr... gguuukk... gguuukk... ggrrr... gukkgukk!?” kalau gue punya penyakit jantung, mungkin gue akan terkena serangan jantung saat itu juga. Untungnya gue masih sehat dan tidak terjadi apapun walau jantung gue berdebar kencang.
“Kina? Apa... yang lo... lakukan?” tanya gue dengan memberi penekanan saat melihat bahwa makhluk yang sedang membungkuk itu adalah, mmm, bagaimana ya, oke teman kosan gue.
“Hehehe... Lo tahu kucing itu kan, Al? Dia sering mencuri makanan gue dan gak pernah takut. Gue bentak sampe gue guyur pun, dia malah datang mendekat. Jadi, gue punya ide kayak tadi,” sahut Kina sambil cengengesan. Gue menoleh pada kucing yang kini sedang memandang gue dengan tatapan sepertinya-teman-lo-udah-gila seraya membersihkan giginya dengan cakar. Apakah kucing sering melakukan itu? Entahlah, mungkin semua yang ada disini memang abness. Pelajaran yang dapat diambil, jangan pernah mencoba berakting menjadi anjing untuk mengusir kucing. Tidak ada gunanya. Temen gue sendiri sudah pernah mencoba.
Berbeda lagi dengan Nana. Kalau lo kebetulan sedang lapar dan bingung untuk makan apa, jangan pernah sekalipun bertanya pada Nana. Makanan anak satu itu aneh-aneh. Dari bubur kacang hijau pakai nasi, kolak pakai nasi, es buah pakai nasi, dan masih banyak lagi asalkan pakai nasi. Coba jelaskan ke gue bagian mana yang normal dari itu semua. Mungkin suatu saat nanti dia akan mencoba makan nasi putih yang disiram larutan penyegar, berhubung tidak ada yang tidak mungkin dengan makanan perempuan satu itu.
Selain itu, ada Isye. Isye adalah orang yang berbicara paling formal diantara kami semua. Gaya bicaranya terlalu serius dan mendalam sampe gue ngira gue lagi ngomong sama eyang uti gue. Dia bahkan jadi terlihat lebih tua dengan gaya bicaranya yang seperti orang tua.
            “Sye, Nana kemana? Kok dia belum balik?” tanya gue pada Isye yang sedang memunggungi gue sambil membaca koran.
            “Dia sakit. Dia dibawa pulang dengan kedua orangtuanya sebelum kau kembali dari kampus,” jawabnya dengan nada serius. Ia masih membolak-balik korannya yang dipegang secara terbalik. Walaupun aneh, gue enggan menegurnya karena alasan tertentu.
            “Sakit? Sakit apa?”
            “Sakit parah. Stadium akhir. Dia bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur.”
            “Parah? Stadium akhir? Dia sakit apa, sye?” gue semakin panik.
            “Masuk angin.”
KAOOOK.. KAOOOK.. Seakan-akan burung gagak sedang terbang diatas gue saat ini.
            Dan dari beberapa orang teman yang sudah disebutkan, mungkin Nasha adalah satu-satunya yang paling mendekati normal. Pintar. Cantik. Dia cenderung diam dan tidak banyak bicara, tapi kata-katanya suka menusuk.
            “Ternyata lo lebih pintar dari dugaan gue. Setidaknya ada kemajuan,” katanya setelah gue berhasil mengerjakan satu buah soal kimia dalam waktu 1 jam. Dia sedang menjadi tutor gue saat ini.
            “Haruskah gue berterima kasih?” tanya gue dengan ekspresi datar.
            “Tidak perlu. Lo harus menyiapkan diri karena gue akan mengajarkan hal lain yang akan sulit dimengerti oleh otak kecil lo itu,” sahutnya tak kalah datar.
            “Gue pikir lo baru aja bilang kalau gue lebih pintar dari dugaan lo.”
            “Ya, tadinya gue pikir lo sangat bodoh. Tapi ternyata hanya bodoh. Ayo lanjutkan!”
            “...”
            Seakan belum cukup, terakhir adalah gue sendiri, Alin. Gue dan Nana mendapatkan julukan si Harga Diri Minus dari Nasha. Sebal, tapi, dia ada benarnya juga. Dan itu terjadi sejak gue mulai berjualan makanan dan gue bercanda tentang harga yang gue berikan.
            “Tahunya berapaan, Al?” tanya Nana yang saat itu sedang bersama gue di rumah.
            “Tiga ribuan,” sahut gue
            “Murah amat. Lima ribu lah,” gue menatapnya aneh. Tapi... “Yah, jangan begitu lah. Dua ribu deh,” sahut gue menimpali candaan Nana.
            “Yaaah, lima setengah dah.”
            “Seribu... seribu...” dan itulah yang terjadi. Gue sang penjual yang ketika ditawar malah menurunkan harga dan Nana sang pembeli yang ketika menawar malah menaikkan harga.
            “Dasar kalian. Harga dirinya minus, sih.” Nasha menimpali dengan tatapan datar yang entah sejak kapan dia berada tepat di sebelah gue.
            Jadi, begitulah keabnormalan teman-teman gue dan, yeah, gue. Percayalah, ini cerita nyata dan gue berharap kalian tidak malu jika suatu saat kita bertemu. Kalau suatu ketika kalian sedang melihat sekumpulan orang aneh yang memiliki nama seperti kami, pastikan kalau itu bukan kami, oke? Kami cukup berakting senormal mungkin jika dalam keramaian.
0 Komentar untuk "ABNESS Karya Wida Nurul Alfisyahrin"

Back To Top