Ini adalah pembelajaran yang aku
dapatkan sekitar enam tahun yang lalu. Ketika itu aku menemui kekasihku (sekarang
sudah jadi mantan) di rumah kontrakannya. Niatku adalah memasak untuk kami
makan berdua sepulang ia kuliah nanti. Bahan-bahan sudah kubeli. Rencananya aku
akan memasak cah kangkung, sosis goreng, dan juga nudget. Waktu itu
aku semangat sekali karena akan memasak untuk
kekasih tercinta, walau masih pakai bumbu instan karena aku tak bisa memasak. Kusiangi
tiga ikat kangkung yang kubeli, sosisnya juga kupotong jadi tiga bagian lalu
kubelah empat diujungnya, supaya bila matang saat digoreng nanti, bentuknya
jadi cantik, mekar bagai bunga, hehehe.
Selesai menyiapkan
bahan, aku menuju ke dapur kecil yang terletak di ujung ruang tamu, di sebelah
kamar mandi. kucari peralatan masaknya dan aku hanya menemukan satu wajan teflon
sedang, satu wajan aluminium kecil, satu panci aluminium kecil, serta satu
spatula. Kuputuskan untuk menggoreng sosisnya terlebih dahulu. Mas Aldi bilang
minyak goreng ada, bahkan lebih dari cukup untuk menggoreng semua, tapi aku
kebingungan mencarinya. Susah memang kalau satu rumah isinya empat laki-laki
semua. Meletakkan apa-apa sepertinya tidak pernah pada tempatnya. Dia katakan
di dekat kompor tapi kucari-cari tetap tak ada. Aku merambah ke bawah meja
kompor dan kutemukan sesuatu di lantai, di dalam botol air mineral ukuran
sedang.
“Haduuh, dasar
laki-laki. Menaruh minyak goreng sebagus ini kok di bawah sih,” omelku, berlagak
seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya.
Kunyalakan kompor dan
kuletakkan wajan teflon diatasnya, lalu kutuang hampir semua isinya, hanya
kusisakan sedikit untuk menumis. Satu, dua, tiga, hingga lima menit kutunggu
minyaknya, kok tidak panas juga? Aku mulai down.
Aku bingung, apa yang kurang, apa yang tidak kuketahui dari kompor gas dengan type seperti itu. Aku penasaran, mengapa
minyaknya tak kunjung panas. Jangankan berasap, muncul gelembung-gelembung dan
berbunyi pun tidak. Kuambil sepotong sosis, kecemplungkan, dan… apa yang
terjadi? Sosisnya tenggelam dan anteng
saja di dalam sana. Aku masih belum sadar dengan apa yang sedang kualami. Kudekati
wajan untuk mengamati dengan saksama nasib sosis itu. Barulah terlihat dengan
jelas (sebab aku tak memakai kacamataku) bahwa ternyata ada banyak buih-buih
kecil di sana. Kecil sekali. Aku bingung, mengapa minyaknya bertekstur seperti
itu.
Kuperhatikan terus buih
itu. Banyak yang menembus ke atas, masih dengan kumpulan buih yang sangat kecil
yang kalau dilihat dari arahku tampak seperti pusaran awan dari langit yang menancap
ke bumi. Aku mulai curiga dengan apa yang di dalam wajan itu karena tampak
semakin mengental bagai sedang memasak agar-agar jelly. Aku mendekati tepi wajan untuk memperhatikan minyak dan si
sosis yang tak bergerak sama sekali di dasar wajan.
Aku curiga dengan wangi
yang enak sekali dari wajan itu. Seperti wangi kue bolu dengan aroma jeruk
panggang. Kuambil sisa minyak yang kuletakkan di sebelah kiri kompor lalu
kubuka dan kumiringkan botolnya untuk mencolek sedikit dari yang kuning-kuning
itu. Ternyata oh ternyata, belum sempat aku menyentuhnya, baunya sudah tercium
oleh hidungku, mirip dengan yang di wajan itu! Seketika itu juga aku sadar
bahwa yang kukira minyak itu adalah pembersih lantai beraroma lemon yang
warnanya sama persis dengan minyak goreng dua kali penyaringan itu, astagaaa! Ha ha ha ha ha ha ha ha ! Bisa-bisanya
aku tertipu oleh pembersih lantai!
Cukup lama aku
menertawakan kebodohanku. Cepat-cepat kutuang cairan yang sudah ku”masak” itu
ke dalam gayung sebelum kukembalikan pada tempatnya, lalu kucuci wajannya di
wastafel di sebelah kanan kompor. Disitulah aku menemukan satu botol sedang
minyak goreng dengan warna keemasan. Oh
my God, ternyata ini minyaknya!
Kuakui, aku memang
jarang menyambangi dapur, hingga membedakan mana minyak goreng dan mana
pembersih lantai pun tak bisa. Membuat cah kangkung pun aku pakai bumbu instan.
Aku berpikir, bagaimana jika nanti keluargaku kuberikan makanan instan terus?
Artinya aku punya andil dalam menciptakan generasi instan yang tak kenal proses
dan yang pasti kualitasnya diragukan, bahkan mungkin penyakitan dan tak berumur
panjang.
Dari situlah aku mulai
berpikir untuk belajar cara memasak yang benar dengan bumbu-bumbu alami yang sudah
Tuhan sediakan melalui alam walau memang lebih merepotkan, ketimbang hanya
menjadi eksekutor masakan dengan komposisi bumbu yang sudah diatur oleh pabrik.
Usahaku membuahkan hasil. Sekarang aku sudah pandai memasak. Aku dan suamiku
hidup bahagia sambil menantikan kehadiran buah hati yang memang agak lambat
datangnya, mungkin karena pola hidup dan pola makanku yang tidak baik selama
ini.
Suamiku suka sekali
dengan masakanku. Atas bimbingannya pula aku bisa mengurangi “jajan” di luar
dan memilih untuk membuatnya sendiri. Suamiku tidak pernah protes dengan
rasanya, karena yang penting adalah bahan dan caraku membuatnya.
Dalam hidup ini pasti
ada pembelajaran, bermanfaat atau tidak tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Salam sejahtera!
Bekasi, 11 Agustus 2015
0 Komentar untuk "PEMBERSIH LANTAI YANG MENIPU Karya Patria Praty Dhina"