Keramaian antrian pemberkasa di sebuah Universitas
Negeri di Jakarta Timur membuat seorang anak yang baru lulus SMA pun bernama
Niar cukup gugup. Nomor antrian telah ia ambil dari petugas. Sama seperti calon
mahasiswa lainnya, Niar harus menunggu giliran. Universitas tersebut telah
menyiapkan tenda dan bangku di bagian depan tata usaha/ administrasi.
Berhubung bangku yang disediakan telah penuh
dengan para pengantri maka anak SMA itu memilih untuk menunggu di tepi jalan beralaskan
got kering bertralis tak jauh dari tempat penyerahan berkas.
Niar masih memegang nomor antrian dengan kedua
tangannya. Bertuliskan angka 18 di nomor antrian tersebut. Sebelumnya, ia ragu
untuk duduk di tepi jalan akan tetapi kakaknya memaksa agar ia duduk di sana.
Kakak Niar sudah duduk cantik di sebelah calon mahasiswa lain dan berbaur
dengan wali mahasiswa lainnya. Alhasil, Niar hanya berdiri di sebelah kakanya
yang sedang bertanya tentang pemberkasan dan wawancara yang diadakan oleh pihak
universitas. Niar tak angkat bicara, ia hanya diam. Tas hitam masih Niar
kenakan. Ketika pembicaraan kakak Niar telah usai, tiba-tiba Niar menjatuhkan
kertas antrian itu. Kertas antrian itu jatuh ke dalam got kering yang cukup
dalam. Kedalaman got itu kurang lebih 50 cm, Niar dan kakaknya tak dapat
mengambil kertas antrian tersebut karena trails got yang berlubang kecil
sehingga tangan mereka tak dapat menjangkaunya. Wajah Niar terlihat panik. Dan
semakin panik ketika kakaknya mengatakan bahwa Universitas ini tak akan memberikan
pemaluman anak hal tersebut. Kakak Niar pun dengan kelakuan Niar.
Niar cemas dan berkata, “gimana dong?” Walaupun
sempat jengkel dengan kelakuan adiknya, kakak Niar pun menjawab, “ ya udah. Loe
minta nomor baru lagi ke petugas. Dan gua akan usaha untuk ambil nomor loe di
got.” Kakak Niar mulai berpikir selam Niar kembali mengambil nomor antria pada
petugas yang berada di depan tempat pemberkasan.
Tak lama kemudian, adiknya datang. Kakak Niar tak
melihat kertas antrian di tangan Niar. Niar mendekati kakaknya dan berkata, “petugasnya bilang nggak apa-apa.” Karena
kakak Niar tahu dengan pasti kedisiplinan Universitas ini, kakak Niar agak
sewot, “nggak apa-apa gimana?” Niar memasang wajah bingung karena ucapan
kakaknya.
Kakak Niar nggak tega juga melihat wajah Niar
seperti itu. Niar diam tak dapat berkata apapun. Kakaknya berkata, “kita butuh
satu lidih nih.” Niar heran dan tak percaya dengan ucapan kakaknya. “Buat apa
lidih,” pikir Niar. Ada petugas kebersihan lewat dari arah yang cukup jauh dari
mereka berdiskusi. Kontan kakak Niar berkata, “noh, ada tukang sampah, sana minta satu lidih
sama petugasnya.” Niar enggan untuk mengikuti saran kakaknya karena mempercayai
ucapan petugas. Kalau bisa simple kenapa harus repot ambil lidi itulah yang ada
dipikirannya. Niar hanya mematung dan diam. Kakaknya geregetan melihat sikap
adiknya.
Mereka berdua pun duduk kembali di tempat yang sama.
Niar tahu kakaknya tak yakin dengan ucapan petugas tersebut. Niar melihat
kakaknya mematahkan batang tanaman hias. Lalu kakaknya membuang daun yang ada
di batang tanaman tersebut. Niar masih belum paham melihat sikap kakaknya. “Ini
namanya ikhtiar,” ucap kakak Niar sambil cengengesan. Sebelum kakak Niar memasukan
lidi itu ke dalam lubang trails got tersebut. Niar melihat kakaknya tengok
kanan dan kiri. Setelah itu, kakak niar memasukan batang tanaman ke dalam
trails. Niar melihat, batang tanaman itu menuju kertas segi empat bertulisan
angka 18. Niar masih memperhatikan kertas itu diarahkan ke pinggir got
bersemen. Kertas itu hamper menuju ke atas. Dengan hati-hati kakak Niar
menggerakan batang tanaman itu agar kertas terangkat ke atas dan dapat
dijangkau oleh jari tangan. Kertas nomor
antrian itu hamper mendekati trails got. Dan kertas itu jatuh ke dasar got
lagi.
Niar menahan tawa karena aksi ikhtiar kakaknya. Aksi
itu terhenti sejenak karena ada mobil yang akan parkir di depan mereka duduk. Kakak
Niar bersikap seolah tak ada apa-apa. Setelah mobil terparkir dan pemilik mobil
pergi, kakak niar mulai berikhtiar kembali. Niar memperhatikan, kali ini
kakaknya memegang ujung batang tanaman itu. Kemudian, ujung batangnya di belah
dua sedikit dan ada batang kecil yang mengganjal belahan tersebut. Sekilas
seperti sumplit yang dipakai anak SD makan Mie. Bedanya, belahan dibatang itu
lebih kecil dan sedikit jika dibantingkan dengan sumplit yang dipakai anak
SD.
Kakak Niar mulai memasukan batang tersebut, kerta
antrian mulai didirikan mendekati pinggir got bersemen. Ujung sumplit batang
mulai mengarah pada bagian pinggir kertas. Kertas mulai terangkat ke atas dan
jatuh kembali. Kakak niar mulai putus asa. Ketika terdengar antrian nomor 14
telah disebutkan oleh petugas. Niar mulai memahami strategi kakaknya, mka ia
mencoba mengambil alih untuk melakukan hal yang sama dengan kakanya. Niar mulai
memasukan batang tanaman, menjepit kertas antrian itu dengan ujung batang
tanaman. Kakak Niar mulai melihat kerta antrian mulai terangkat ke atas dan
kertas itu jatuh kembali ke dasar got. Kakaknya pun cengengesan melihat gaya
adiknya dan gayanya sendiri di tengah keramaian tersebut.
Kakak Niar kembali mencoba kembali, ia yakin akan
berhasil. Nomor antrian terlihat masih berdiri di pojok got. Niar melihat kertas
segiempat nomor antrian itu mulai terselip batang tanaman. Kertas itu mulai
terangkat ke atas, perlahan demi per lahan. Dan akhirnya kertas itu dapat
diambil dengan jari tangan. Wajah syukur terlihat ketika kertas itu ada
ditangan kakanya. Kakaknya menyerahkan kertas antrian itu kepada Niar.
Tak lama kemudian, nomor antrian 18 telah dipanggil,
mereka pindah ke depan tempat penyerhan berkas. Kakak Niar tak melihat petugas
yang mengatakan taka pa-apa kepada Niar. Niar menyerahkan berkas dan kakaknya
ada di sampingnya. Dengan nada tegas, ibu berkaca mata menanyakan nomor antrian
pada Niar.
-Selesai-
Bekasi,
29 Juli 2015
0 Komentar untuk "KERTAS ANTRIAN 18 karya Nurkhumaira Tusdayu"