Bahasa dan Sastra Indonesia

KERTAS ANTRIAN 18 karya Nurkhumaira Tusdayu



Keramaian antrian pemberkasa di sebuah Universitas Negeri di Jakarta Timur membuat seorang anak yang baru lulus SMA pun bernama Niar cukup gugup. Nomor antrian telah ia ambil dari petugas. Sama seperti calon mahasiswa lainnya, Niar harus menunggu giliran. Universitas tersebut telah menyiapkan tenda dan bangku di bagian depan tata usaha/ administrasi.
 Berhubung bangku yang disediakan telah penuh dengan para pengantri maka anak SMA itu memilih untuk menunggu di tepi jalan beralaskan got kering bertralis tak jauh dari tempat penyerahan berkas.
Niar masih memegang nomor antrian dengan kedua tangannya. Bertuliskan angka 18 di nomor antrian tersebut. Sebelumnya, ia ragu untuk duduk di tepi jalan akan tetapi kakaknya memaksa agar ia duduk di sana. Kakak Niar sudah duduk cantik di sebelah calon mahasiswa lain dan berbaur dengan wali mahasiswa lainnya. Alhasil, Niar hanya berdiri di sebelah kakanya yang sedang bertanya tentang pemberkasan dan wawancara yang diadakan oleh pihak universitas. Niar tak angkat bicara, ia hanya diam. Tas hitam masih Niar kenakan. Ketika pembicaraan kakak Niar telah usai, tiba-tiba Niar menjatuhkan kertas antrian itu. Kertas antrian itu jatuh ke dalam got kering yang cukup dalam. Kedalaman got itu kurang lebih 50 cm, Niar dan kakaknya tak dapat mengambil kertas antrian tersebut karena trails got yang berlubang kecil sehingga tangan mereka tak dapat menjangkaunya. Wajah Niar terlihat panik. Dan semakin panik ketika kakaknya mengatakan bahwa Universitas ini tak akan memberikan pemaluman anak hal tersebut. Kakak Niar pun dengan kelakuan Niar.
Niar cemas dan berkata, “gimana dong?” Walaupun sempat jengkel dengan kelakuan adiknya, kakak Niar pun menjawab, “ ya udah. Loe minta nomor baru lagi ke petugas. Dan gua akan usaha untuk ambil nomor loe di got.” Kakak Niar mulai berpikir selam Niar kembali mengambil nomor antria pada petugas yang berada di depan tempat pemberkasan.
Tak lama kemudian, adiknya datang. Kakak Niar tak melihat kertas antrian di tangan Niar. Niar mendekati kakaknya dan  berkata, “petugasnya bilang nggak apa-apa.” Karena kakak Niar tahu dengan pasti kedisiplinan Universitas ini, kakak Niar agak sewot, “nggak apa-apa gimana?” Niar memasang wajah bingung karena ucapan kakaknya.
Kakak Niar nggak tega juga melihat wajah Niar seperti itu. Niar diam tak dapat berkata apapun. Kakaknya berkata, “kita butuh satu lidih nih.” Niar heran dan tak percaya dengan ucapan kakaknya. “Buat apa lidih,” pikir Niar. Ada petugas kebersihan lewat dari arah yang cukup jauh dari mereka berdiskusi. Kontan kakak Niar berkata,  “noh, ada tukang sampah, sana minta satu lidih sama petugasnya.” Niar enggan untuk mengikuti saran kakaknya karena mempercayai ucapan petugas. Kalau bisa simple kenapa harus repot ambil lidi itulah yang ada dipikirannya. Niar hanya mematung dan diam. Kakaknya geregetan melihat sikap adiknya.
Mereka berdua pun duduk kembali di tempat yang sama. Niar tahu kakaknya tak yakin dengan ucapan petugas tersebut. Niar melihat kakaknya mematahkan batang tanaman hias. Lalu kakaknya membuang daun yang ada di batang tanaman tersebut. Niar masih belum paham melihat sikap kakaknya. “Ini namanya ikhtiar,” ucap kakak Niar sambil cengengesan. Sebelum kakak Niar memasukan lidi itu ke dalam lubang trails got tersebut. Niar melihat kakaknya tengok kanan dan kiri. Setelah itu, kakak niar memasukan batang tanaman ke dalam trails. Niar melihat, batang tanaman itu menuju kertas segi empat bertulisan angka 18. Niar masih memperhatikan kertas itu diarahkan ke pinggir got bersemen. Kertas itu hamper menuju ke atas. Dengan hati-hati kakak Niar menggerakan batang tanaman itu agar kertas terangkat ke atas dan dapat dijangkau oleh jari tangan.  Kertas nomor antrian itu hamper mendekati trails got. Dan kertas itu jatuh ke dasar got lagi.
Niar menahan tawa karena aksi ikhtiar kakaknya. Aksi itu terhenti sejenak karena ada mobil yang akan parkir di depan mereka duduk. Kakak Niar bersikap seolah tak ada apa-apa. Setelah mobil terparkir dan pemilik mobil pergi, kakak niar mulai berikhtiar kembali. Niar memperhatikan, kali ini kakaknya memegang ujung batang tanaman itu. Kemudian, ujung batangnya di belah dua sedikit dan ada batang kecil yang mengganjal belahan tersebut. Sekilas seperti sumplit yang dipakai anak SD makan Mie. Bedanya, belahan dibatang itu lebih kecil dan sedikit jika dibantingkan dengan sumplit yang dipakai anak SD.  
Kakak Niar mulai memasukan batang tersebut, kerta antrian mulai didirikan mendekati pinggir got bersemen. Ujung sumplit batang mulai mengarah pada bagian pinggir kertas. Kertas mulai terangkat ke atas dan jatuh kembali. Kakak niar mulai putus asa. Ketika terdengar antrian nomor 14 telah disebutkan oleh petugas. Niar mulai memahami strategi kakaknya, mka ia mencoba mengambil alih untuk melakukan hal yang sama dengan kakanya. Niar mulai memasukan batang tanaman, menjepit kertas antrian itu dengan ujung batang tanaman. Kakak Niar mulai melihat kerta antrian mulai terangkat ke atas dan kertas itu jatuh kembali ke dasar got. Kakaknya pun cengengesan melihat gaya adiknya dan gayanya sendiri di tengah keramaian tersebut.
Kakak Niar kembali mencoba kembali, ia yakin akan berhasil. Nomor antrian terlihat masih berdiri di pojok got. Niar melihat kertas segiempat nomor antrian itu mulai terselip batang tanaman. Kertas itu mulai terangkat ke atas, perlahan demi per lahan. Dan akhirnya kertas itu dapat diambil dengan jari tangan. Wajah syukur terlihat ketika kertas itu ada ditangan kakanya. Kakaknya menyerahkan kertas antrian itu kepada Niar.
Tak lama kemudian, nomor antrian 18 telah dipanggil, mereka pindah ke depan tempat penyerhan berkas. Kakak Niar tak melihat petugas yang mengatakan taka pa-apa kepada Niar. Niar menyerahkan berkas dan kakaknya ada di sampingnya. Dengan nada tegas, ibu berkaca mata menanyakan nomor antrian pada Niar.
-Selesai-

Bekasi, 29 Juli 2015
0 Komentar untuk "KERTAS ANTRIAN 18 karya Nurkhumaira Tusdayu"

Back To Top