Bahasa dan Sastra Indonesia

BIS MALAM Karya Belinda Duhita Puspita


               
Liburan semester paling enak memang rekreasi ke tempat wisata alam. Aku, Ando, Rian, dan Billy, empat sekawan berencana pergi mengunjungi rumah salah satu dari kami. Aku langsung usul tempat di Purwodadi. Lumayan liburan sekalian pulang kampung.
Asal bilang aja kalau di sana ada tempat wisata mirip Lumpur Lapindo.
Namanya Bledhug Kuwu. Awalnya mereka kurang setuju, pasalnya tempat wisata kok mirip lokasi bencana. Terus aku tetep ngotot, aku kasih tau mereka kalau di sana banyak kembang desa yang bening. Akhirnya mereka antusias. Bahkan tas-tas mereka udah siap dua hari sebelum keberangkatan. Akugeli sendiri di kamar. Mana ada kembang desa bening, yang ada mah kambing bunting.
Hari berikutnya kita diskusi tentang cara kita ke Purwodadi. Kami diskusi bertiga minus Rian, dia lagi ada acara sama Papanya di Jakarta. Kita memutuskan mau naik bis malam dari Jogja. Fix. Rian juga udah tahu hasilnya. Cuma dia belum respon di grup whatsapp. No news good news. Kesimpulan kita, berarti dia setuju.
***
Hari H kita semua udah siap berangkat menuju terminal, kecuali Rian. Tiba-tiba dia bilang mau berangkat sendiri aja. Ya udah terserah Rian deh. Di antara kami berempat memang Rian yang paling sibuk. Kami berangkat jam 17:30 dari kos-kosan. Jadwal keberangkatan bis yaitu jam 18:30.
Setiba di terminal, kami mulai naik bis. Kemudian Rian menelpon
“Sur, bandara di Purwodadi namanya apa?”
“Woalah yo ora onoo”, aku setengah teriak karna terminal lagi rame.
“Oh gitu, gue minta alamat aja ya. Nanti nyusul diantar supir”
“Ke terminal aja, ni bis belum berangkat..”
“Enggak deh, gue nyusul aja”, Rian memotong kata-kataku.
“Oke nanti aku smsin alamatnya”
Dan fakta lain dari Rian adalah ia paling kaya di antara kami. Ayah ibunya pengusaha sukses taraf internasional. Makanya tiket bis malam hangus buat dia ga ada artinya.
                Begitu naik bis, kami terpana pada seorang cewek yang lagi duduk sendirian di kursi belakang supir. Cewek itu pakai jilbab pink dan baju abu-abu. Wah mirip Rumana di Tukang Bubur Naik Haji. Tapi mana tukang buburnya ya? Perasaan di film juga udah ga ada. Billy, si ahli gombal, jadi orang pertama yang mulai sok pdkt. Ia sengaja menjatuhkan tasnya. Apalagi kursi di sebelah cewek itu kosong.
“Ehem mulai deh”, Ando berdehem sambil menyindir. Saat Billy menunduk mengambil tas. Ando mendorongnya sampai jatuh, “Ya ampun, ngambil tas yang bener, Bil”
“Awas loe Ndo”, Billy buru-buru bangkit dan menjauh dari cewek tadi karena malu.
***
Di tengah perjalanan, cewek tadi berjalan ke belakang. Awalnya aku kira dia mau ke toilet, ternyata dia berjalan ke arahku. Ia langsung duduk di kursi kosong sebelahku. Wah sontak mataku yang tinggal 5 watt langsung melek. Kayak minum kopi tubruk pahit tiga gelas. Lumayan kan, jarang-jarang cewek cantik deketin aku.
“Ada apa ya embak?”, aku lembut-lembutkan suara, tapi kok jadi keliatan medok.
“Oh mau tanya aja mas”, suaranya empuk banget, pas sama mukanya.
“Kita siap jawab mbak Rumana”, kepala Billy tiba-tiba nongol di depanku.
Wah ini anak ga bisa lihat temen lagi bahagia apa ya. Ando juga, dengan alibi menawarkan makanan. Ia ikut nimbrung obrolan kami.
                “Wah makasih”, Anis mengambil makanan. Menurutku dia terpaksa ngambil biar sopan. Terus dia tanya lagi, “Mas-mas ini temennya Rian ya?”
                “Iya mbak, Rian yang ini kan?”, Ando langsung nunjukkan fotonya.
“Lho kamu ada foto Rian?”, Aku bertanya ke Ando.
“Ya adalah, ni lihat”, Ando menunjukkan foto yang dipasang di dompetnya.
“Kok kamu bisa punya fotonya? Posenya muka bantal, pas bangun tidur lagi”, aku keheranan.
“Ini kan ga sengaja.Pas dia bangun tidur terus kepotret deh, habis dia ganteng”, Ando menjawab secara santai.
“Lha kok iso dicetak?”, aku masih penasaran. Anis cuma bisa diam sambil mengamati perdebatan.
“Ya ga sengaja tercetak gitu”, jawab Ando sekenanya.
“Trus kok bisa masuk dompet?”, aku masih maksa dia jujur.
“Ya ga sengaja juga, pas mau naruh meja eh ternyata masuk dompet”
“Terus loe punya foto gue sama Surya ga?”, Billy dengan nada penasaran.
“Enggak, habis kalian jelek”, jawab Ando sambil memasukkan dompetnya lagi.
Aku dan Billy langsung menoyor kepala Ando. Untung saja cewek tadi Cuma ketawa dan ga langsung ilfeel melihat kelakuan Ando. Bisa-bisa kan dikira kita cowok macam apa. Setelah ngobrol banyak ngalor ngidul, cewek ini ternyata adalah saudara Rian. Namanya Anis. Anis ini ‘sebangsa’ sama Rian. Sama-sama anak konglomerat dan calon pewaris tahta perusahaan besar. Bedanya dia bisa bergaya hidup lebih sederhana.
Anis ini punya passion di dunia pariwisata. Ia ingin melihat potensi daerah wisata yang akan dikunjungi. Apalagi daerah ini belum begitu dikenal masyarakat luas. Kemungkinan jika memang potensinya besar, ia tidak ragu untuk berinvestasi membangun kawasan pariwisata baru di sana.Lengkap dengan akomodasi yaitu transportasi dan penginapan.
Sepanjang perjalanan dan saat berhenti makan, kami asyik mendengarkan Rumana eh Anis ini bercerita. Ia bercerita tentang kegiatan dan beberapa bisnis yang ia tangani. Dia cerita ga pakai sombong. Cewek ini berarti pinter mengelola uang. Wah beruntung banget kalau ada cowok yang dapetin dia.
***
Pagi harinya setelah sarapan di rumahku, kami bertiga dan Anis bersiap menuju lokasi wisata. Billy dan Ando sepertinya lupa janjiku tentang kembang desa karna saking asyiknya dengan Anis. Kami semua sengaja menunggu Rian yang belum juga tiba sampai saat ini. Mereka bergantian menghubungi ponsel Rian tapi tidak ada tanggapan.
Lalu pukul 11 menjelang siang. Di saat-saat kritis antara bosan menunggu dan jengkel yang akan berubah menjadi dendam anak kos. Rian akhirnya menelponku.
“Ngopo telpon?”, aku menjawab telponnya dengan sinis. Aku ingin dia merasa bersalah.
“Maaflah bro. Ntar kalian mau nitip makanan apa?”
“Ga bisa disogok”, jawabku ketus.
“Oh gitu yaa.. Oke, Anis gue suruh pulang aja..”
“Wah bercanda bos. Kamu mau dateng besok atau bulan depan atau tahun depan tetep ta’ tunggu wis”, aku baru sadar Rumana itu ternyata juga sogokan biar kami ga marah ke Rian. Sial, pinter juga dia.
“Gue baru mau berangkat nih. Sorii. Minta tolong share location ya”, ia terkekeh di seberang.
“Oke ntar aku kirim. Tau gitu bareng aja kan kemarin naik bis. Bis eksekutif iki, penak”,
“Tu bis malam kan?”
“Iya. Lha ngopo nek bis malam?”, kataku pengen tau.
“Gue takut lama di perjalanan  kalo pake bis malam. Soalnya berarti jalannya cuma pas malem aja kan? Trus pagi sampe sore dia berhenti”
GUBRAK
“,’;/[;]/[­$#$^&*)()_+p;][>”:*&*&^%$$##$<{}<)(*^!”
Lalu ponsel aku sodorkan Billy.

***

Related Post:

0 Komentar untuk "BIS MALAM Karya Belinda Duhita Puspita"

Back To Top